Senin, 19 Oktober 2015

ILMU BUDAYA DASAR


UNIVERSITAS GUNADARMA


                                    

NAMA                       : Fikry Nami Pradito
NPM                           : 12515683
KELAS                      : 1PA16
FAKULTAS              : Psikologi
JURUSAN                 : Psikologi S1
MATAKULIAH       : Ilmu Budaya Dasar






BAB I
PENDAHULUAN

Bagi seseorang mahasiswa,bidang studi Ilmu Budaya Dasar merupakan mata pelajaran yang penting.Hal ini sangat akan membantu pelajaran dari seorang mahasiswa.Saya menulis makalah ini bertujuan untuk berbagi ilmu,dan untuk nilai mata kuliah softskill.
Dalam makalah ini saya akan membahas tentang ilmu budaya dasar.Yang akan sangat membantu untuk kehidupan sehari-hari dengan sesama mahluk hidup.Materi yang saya tulis mencakup pengertian ilmu budaya dasar yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,baik cara penyajiannya,dari segi isi ataupun bahasa.Demikianlah,makalah ini dapat di manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

1.1 LATAR BELAKANG
            Latar belakang saya mengangkat judul Ilmu Budaya Dasar Suku Akit dari Riau dan Suku Betawi dari DKI Jakarta adalah untuk menyelesaikan tugas dari yang diberikan oleh dosen.Selain itu, untuk berbagi dengan mahasiswa lainnya.
Disamping itu,Ilmu Budaya Dasar adalah ilmu yang sangat berguna dan akan di oakai seumur hidup.Oleh karena itu saya menulis makalah ini adalah untuk memperdalam kemampua menulis saya dalam menyelesaikan tugas laporan.
            Ilmu Budaya Dasar adalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah budaya,khususnyayang diwujudkan oleh masyarakat dengan menggunakan pengertian-pengertian yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan

1.2  RUMUSAN MASALAH.
            1. Bagaimana sejarah kebudayaan tersebut terbentuk?
            2. Bagaimana cara melestarikan kebudayaan tersebut?
            3. Bagaimana perna pemerintah pemerintah untuk melestarikan kebudayaan tersebut?



1.3 MNFAAT DAN TUJUAN
            MANFAAT:
1.      Kebudayaan masyarakat setempat dan perkembangannya dari waktu ke waktu.
2.      Merupakan perangkat sistem kehidupan masyarakat.
3.      Sebagai cara mencirikan kehidupan masyarakat yang khas.
TUJUAN
1.      Menjaga kebudayaan tersebut.
2.      Peran masyarakat dan pemerintah untuk melestarikan kebudyaan tersebut.
3.      Untuk mengetahui sejarah-sejarah kebudayaan tersebut.
BAB II


2.1 Suku Akit dari Riau

            Suku yang ada di Provinsi Riau yaitu Melayu, Akit, Talang Mamak, Hutan, Sakai, Laut, Bunoi. Adapun Suku Akit merupakan suku asli yang mendiami wilayah Pulau Rupat tepatnya di Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis. Suku ini telah lama mendiami pulau ini sebelum suku-suku lainnya menjadikan pulau ini sebagai tempat tinggal.

Sumatera merupakan tempat tinggal bagi suku-suku besar yang mempunyai tradisi budaya terkenal seperti Aceh, Batak, Minangkabau dan Melayu. Selain itu terdapat juga sejumlah suku-suku minoritas dan nyaris tidak dikenal. Sebagian besar suku ini terdapat di dataran rendah Sumatera sebelah timur dimana mereka pernah hidup secara tradisional di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai penting maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai.
Di pedalaman terdapat Orang Sakai yang berada diantara Sungai Rokan dan Siak, Orang Petalangan diantara sungai Siak dan Kampar dan diantara Sungai Kampar dan Indragiri, dan Orang Talang Mamak diantara sungai Indragiri dan Batang Hari.
Ada juga Orang Batin Sembilan di kawasan antara sungai Batang Hari dan Musi, khususnya di sisi perbatasan propinsi Jambi. Suatu populasi yang mempunyai hubungan erat dengan Orang Batin Sembilan berada dan pernah hidup secara tradisional di kawasan sisi perbatasan Sumatera Selatan. Kawasan-kawasan lebih kecil yang terbentuk oleh banyak cabang sungai di hulu DAS Batang Hari dan DAS Musi merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Orang Rimba. Satu-satunya suku minoritas yang tidak tinggal di pedalaman diantara sungai-sungai adalah Orang Bonai. Mereka mendiami daerah berawa di pertengahan DAS Sungai Rokan yang bersebelahan dengan kawasan Orang Sakai.
Di kawasan pantai tedapat Orang Akit tepatnya di pulau Rupat diantara muara sungai Siak dan Rokan dan Orang Utan di beberapa pulau dan tanah daratan antara kuala Sungai Siak dan Kampar. Kemudian diantara kuala sungai Kampar dan Batang Hari terdapat Orang Kuala atau dalam bahasa mereka disebut Duano.
Di pulau-pulau lepas pantai tedapat berbagai sub-kelompok Orang Laut dari kepulauan Riau dan Lingga. Selain itu juga terdapat keturunan Orang Darat yang dulunya hidup di pedalaman pulau-pulau Riau yang besar, namun keadaan mereka sekarang tidak diketahui.
Di Sumatera Selatan terdapat Orang Sekak di kawasan pesisir kepulauan Bangka dan Belitung. Pada waktu dulu mereka biasa hidup berpindah-pindah sebagai orang perahu. Yang tersisa adalah Orang Lom, disebelah utara pulau Bangka.
Dalam kemajemukan bangsa Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang hingga sekarang ini kita sebut “suku-suku bangsa terasing”, suatu istilah yang kini terasa kurang positif. Ketika istilahnya diajukan, maksudnya ialah untuk menunjuk pada “keterasingan” dalam arti geografis karena daerah yang dihuni suku-suku bangsa bersangkutan, memang sulit dijangkau. Mereka umumnya bermukim dalam wilayah yang sangat terpencil. Akan tetapi, selanjutnya lebih diakui “keterasingan” mereka dalam arti sosial budaya, yaitu terdapatnya kesenjangan sosial-budaya suku-suku bangsa dengan keadaan bangsa Indonesia.
Kelambanan dan kurang berhasilnya program pembinaan komunitas adat terpencil di Indonesia pada umumnya, bukanlah semata-mata karena keterbatasan dana, data, dan tenaga trampil, melainkan juga karena belum ditemukannya rancangan program pembinaan yang terarah dan teruji sesuai dengan konsep sosial budaya Masyarakat Suku Akit itu sendiri.
Menurut Mozkowski (1908, 1909) dan Loeb (1935) pola kehidupan Masyarakat suku Sakai pada dasamya adalah mengembara. Mereka hidup dari meramu hasil hutan, berburu hewan liar dan menangkap ikan, sambil menanami ladang mereka pun menanam ubi kayu beracun (ubi menggalo). Kebiasaan mengembara tersebut berubah karena ada perintah dari Sultan Siak yang mengliaruskan mereka menanami ladang mereka dengan padi. Kewajban menanam padi di ladang ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat oleh para halin (kepala dukuh) yang bersangkutan, disertai sanksi yang keras. Penanaman padi dilakukan dengan berbagai upacara yang bersifat sakral. Penanaman uhi menggalo, yang sebenamya merupakan makanan pokok Masyarakat suku Sakai, tidak dilakukan dengan perawatan yang sungguh-sungguh dan tidak disertai dengan upacara apa pun.
Pada masa lampau kegiatan hidup mereka lebih banyak dilakukan di perairan laut dan muara-muara sungai. Mereka mendirikan rumah di atas rakit-rakit yang mudah di pindahkan dan satu tepian ke tepian lain. Daerah mereka termasuk ke dalam kepenghuluan Hutan Panjang, kecamatan Rupat, kabupaten Bengkalis. Jumlah populasinya sekitar 3.500 jiwa.
Menurut cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dan salah satu anak suku Kit yang menghuni daratan Asia Belakang. Karena suatu alasan mereka mengembara ke selatan, melewati Semenanjung Malaka. Keadaan telah memaksa mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak di atas rakit dan sampan. Dengan demikian mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adaptif di perairan kepulauan Riau. Orang Akit menggantungkan kehidupannya kepada kegiatan berburu, menangkap ikan dan mengolah sagu. Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan sumpit bertombak, panah, dan kadangkala pakai perangkap. Teman setia mereka untuk perburuan macam itu adalah anjing.
Orang Akit memiliki adat kebiasaan bersunat yang sebenarnya sudah jauh sebelum agama Islam masuk. Prinsip garis keturunan mereka cenderung patrilineal. Selesai upacara perkawinan seorang isteri segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pemimpin otoriter boleh dikatakan tidak kenal dalam Masyarakat Suku Akit sederhana ini, tetapi karena pengaruh kesultanan Siak masa dulu sukubangsa Akit mengenal juga pemimpin kelompok yang disebut batin. Orang Akit dikenal pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Sehingga mereka diajak bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang Akit untuk dijadikan budak. Mereka menyebut orang Melayu sebagai orang selam, maksudnya Islam. Sistem kepercayaan aslinya berorientasi kepada pemujaan roh nenek moyang. Pada masa sekarang sebagian orang Akit sudah memeluk agama Budha, terutama lewat perkawinan perempuan mereka dengan laki-laki keturunan Tionghoa.


Orang Akit mengenal tiga tahapan penting dalam kehidupan manusia:
1. Hamil dan melahirkan bayi,
2. Perkawinan,
3. Kematian.
Tahap-tahap tersebut dianggap sebagi puncak-puncak peristiwa dalam hidup tetapi juga sebagai tahap-tahap yang paling berbahaya. Untuk itu ada sejumlah upacara yang bertujuan agar dalam peristiwa-peritiwa penting tersebut si pelaku dan keluargannya serta Masyarakat Suku Akit tempatnya hidup dapat selamat dari segala bahaya. Segala peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara individual tersebut berlaku dalam kehidupan keluarga. Suatu keluarga Masyarakat suku Akit pada dasarnya adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka. Ada juga keluarga Masyarakat suku Akit yang luas, ditambah dengan salah satu orangtua istri atau suami, atau kemenakan yang menumpang sementara. Jumlah keluarga luas dalam Masyarakat Akit tidak banyak, karena keadaan seperti itu dianggap sebagai terkecualian untuk menolong orang jompo atau yang memerlukan pertolongan sementara.
Salah satu ciri Masyarakat suku Akit sebagaiman dilihat oleh orang Melayu adalah agama mereka bersifat animistik. Agama asli Masyarakat suku Akit memang berdasarkan kepercayaan pada berbagai mahluk halus, ruh, dan berbagai kekuatan gaib dalam alam semesta, khususnya dalam lingkungan hidup manusia mempunyai pengaruh terhadap kesejahteraan hidup mereka. Mahluk gaib ini mereka namakan antu, Sedangkan Mozkowski (1908, 1909) dan Loeb (1935) menyebutkan bahwa Masyarakat suku Sakai percaya kepada Betara Guru.
Masyarakat suku Akit dikenal oleh orang Melayu sebagai pembuat anyaman tikar dan rotan yang baik. Hal ini disebabkan karena sebagian besar peralatan yang mereka gunakan dibuat dengan cara mengikat dan menganyam. Mereka menganyam berbagai wadah untuk menyimpan dan mengangkut barang dari rotan, daun rumbia, daun kapau, dan kulit kayu. Di masa lampau mereka juga membuat pakain dari kulit kayu yang dipukul sedemikian rupa sehingga menjadi tipis, halus seta kuat. Namun yang lebih unik lagi, dalam berbagai hal tersebut mereka tidak menggunakan paku sebagai pengaitnya.
Selain menganyam yang merupakan keahlian dan kebiasaan hidup mereka sehari-hari, nampaknya tidak ada bentuk kerajinan lainnya. Kesenian yang biasa mereka nikmati Ungkapan adalah dikir (yang sebetulnya adalah upacara pengobatan secara ungkapan kesenian dalam bentuk nyanyian atau puisi tidak dikenal. Tetapi dongeng-dongeng yang bersifat fabel masih (sering diceritakan kepada anak-anak mereka). Terutama dongeng mengenai si kancil, dongeng ini mempunyai makna simbolik bagi identitas diri mereka yang terbelakang, hanya dengan kecerdikan sajalah mereka dapat mengatasi segala kesulitan hidup.
Dalam kehidupan Masyarakat suku Akit setiap keluarga harus mempunyai sebidang ladang. Karena hanya dan hasil ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka sehari-hari. Juga, lahan di ladang itulah mereka hidup, yaitu membangun rumah, membentuk keluarga, merasa aman dan menemukan jati diri mereka. Mereka dibesarkan di ladang dan membesarkan anak-anak mereka.

Perawakan Tubuh Orang Suku Akit

Bentuk tubuh mereka tegap-tegap dan lebih tinggi dari pada umumnya orang-orang Melayu yang berdiam di sekitar wilayah mereka. kulit mereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga menyembunyikan warna aslinya yang kekuning-kuningan. Dahi dan tulang pipinya tinggi seperti ras Mongoloid pada umumnya. tetapi mata mereka sipit dan rambutnya agak ikal.

Perkawinan Dalam Suku Akit

Anak perempuan mereka dikawinkan setelah berumur lima belas tahun dan anak laki-laki mereka setelah berumur tujuh belas tahun. Mereka harus menjalani adat bersunat pada usia 7 sampai 13 tahun, dan ini bukan karena pengaruh Agama Islam. Gadis yang baru kawin segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pihak lelaki menyerahkan "uang beli" kepada orang tua si gadis. Untuk si gadis disediakan pula mas kawin berupa cincin sepasang, kain baju dan alat rumah tangga selengkapnya. Untuk pesta kawinnya mereka memotong babi, minum tuak, kemudian menyanyi dan menari sampai pagi.

 

Suku Akit Dalam Hubungannya Dengan Kesultanan Siak

Pada zaman Kesultanan Siak, suku bangsa ini sudah disegani, antara lain karena kemampuan mereka untuk bertahan hidup di perairan, pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Oleh sebab itu mereka diajak bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang Akit untuk dijadikan budak. Gangguan orang Akit pada zaman kolonial itu dicatat Belanda sebagai perompak laut yang sulit untuk ditumpas habis.

Dilingkungan Kesultanan Siak sendiri mereka akhirnya memiliki seorang batin, yaitu pemimpin masyarakat Akit yang diakui oleh sultan siak. Walaupun sempat berhubungan erat dengan Kesultanan Siak, orang Akit sendiri amat sedikit terpengaruh oleh Kebudayaan Melayu, kecuali tunduk kepada kesultanan Siak yang sedang kuat pada masa itu dan memakai bahasa Melayu ketika berhubungan dengan orang lain, mereka tetap mempertahankan identitas kesukubangsaannya sendiri.

Mereka menyebut orang Melayu sebagai orang selam, maksudnya Islam. Sistem kepercayaan asli mereka yang memuja nenek moyang akhirnya hanya bisa dipengaruhi oleh ajaran moral Budha. pada masa sekarang banyak sekali perempuan Akit yang dikawini oleh laki-laki keturunan Tiongkok yang kehidupan ekonominya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Akit pada umumnya. Keturunan Tiongkok perantau ini nampaknya suka berbesanan dengan orang Akit, terutama agar bisa berdiam di wilayah tersebut.

 

 

 

 

2.3 Suku Betawi Dari DKI Jakarta.

Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi". Suku Betawi secara geografis terletak di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.

Seni dan kebudayaan

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

 

Bahasa

Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[10] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".



Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.
Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

            Kebudayaan indonesia sangat beragam,apalagi jika kita mempelajarinya semua kita bisa menemukan perbedaan dari setiap kebudyaan tersebut,baik dalam aspek sosial,kebudayaan dan lain-lain.Kebudayaan suku akit dan suku betawi merupakan bagian dari kebudayaan yang ada di indonesia,dengan kita membaca dan mempelajrinya kita bisa tau bahwa kebudayaan tersebut sudah ada sejak jaman dahulu.

3.2 SARAN

            Marilah kita bersyukur karena kita hidup di Indonesia karena Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan ,maka dari itu kita haru menjaga dan melestarikan kebudayaan yg ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi